Indonesia dengan jumlah muslim terbesar dan sebagai negara agraris, kelautan dan kepulauan dan kaya akan mineral berhadapan dengan persoalan ekonomi dan sosial yang semakin hari semakin mencemaskan. Jumlah kemiskinan terus meluas, serta beban hidup yang semakin berat, biaya pendidikan yang makin tinggi, biaya kesehatan yang mahal dan lapangan kerja yang hanya terkonsentrasi di tempat tertentu. Angka kemiskinan ada terus bertambah, sementara inflasi (pencurian nilai uang) dan riba terus terjadi setiap hari, setiap detik, yang makin menurunkan kesejahteraan umat secara umum.
Dengan melihat kondisi ini tentunya kita tidak bisa tinggal diam, setelah mengetahui masalah sebenarnya, maka kita sebagai bagian dari umat muslim di Nusantara perlu berupaya untuk melakukan usaha aktif dengan menggerakan sumber daya yang ada di kalangan umat Islam sendiri, melalui ilmu dan amal yang dituntunkan oleh ajaran Islam. Kita perlu segera mengembalikan fungsi pasar secepat mungkin secara bersama, untuk mengatasi kegilaan sistem riba yaitu bank dan uang kertas atau kapitalisme dunia yang telah menghinakan muslim dan umat manusia. Sistem riba atau kapitalisme jelas telah nyata menimbulkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Dan secara jelas dan gamblang kapitalisme telah gagal total dalam membangun peradaban manusia, kapitalisme adalah cara hidup yang di dasarkan kepada riba. Muslim Nusantara menjadi minoritas ditangan para rentenir lintah darat perbankan.
Ada yang telah hilang dari kehidupan Muslim hari ini dan hal yang tersebut adalah sesutau yang mendasar. Kita perhatikan setiap pembangunan kawasan kaum muslimin hanya biasa berpikir untuk membangun masjid. Tidak ada sedikitpun berpikir untuk membangun pasar. Padahal pasar ini sangat penting. Pasar sebagaimana mestinya telah hilang dari kehidupan muslim hari ini, dimana ini perlu dikembalikan.
Dari sejarah dapat kita lihat, segera setelah kedatangan Rasulullah di Madinah Al Munawarah, yang pertama dibangun adalah masjid, kemudian berikutnya adalah pasar bagi kaum muslimin. Rasulullah shallalahu alaihi wassalam menjelaskan melalui tindakan nyata bahwa pasar harus berupa tempat yang dapat digunakan secara bebas oleh semua orang tanpa ada pembagian-pembagian, tidak ada pajak, retribusi atau bahkan uang sewa.
Begitupun di jaman Khalifah Umar bin Khattab ra, masjid dan pasar mendapat perhatian yang besar sehingga perencanaan keduanya nampak dalam setiap pembangunan kota. Umar memerintahkan agar di setiap kota dibangun masjid dan pasar. Masjid sebagai pusat ibadah dan keilmuan sedangkan pasar sebagai pusat perdagangan.
Perhatian Umar bin Khatthab ra mulai dari pendirian pasar, pengaturan dan pengawasannya. Dari sisi pendirian, Umar bin Khatthab ra memerintahkan untuk mendirikan pasar untuk umat Islam di setiap tempat yang ditinggali umat Islam, maka rencana pasar sesuai dengan rencana tempat tersebut.
Dari sisi pengaturan dan pengawasan pasar, Umar bin Khatthab ra mempunyai perhatian yang besar terhadapnya. Umar al Khattab berkeliling berkeliling sendiri di pasar-pasar untuk mengawasi transaksi di dalamnya, padahal dia adalah seorang khalifah. Beliau membawa tongkatnya untuk meluruskan penyimpangan dan menghukum orang yang menyimpang. (Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Qubra 5/43-44, Ibnu Hajar, al-Ishabah4/143, Al-Muttaqi al-Hindi, Kanzu al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al 5/815)
Umar juga menunjuk para pegawai untuk mengawasi pasar (muhtasib). (ibnu Abdul Barr,Al-Isti’ab 4/341), Ibnu Hizam, Al-Mahalla 8/527, Ibnu Hajar, al-Ishabah 8/202)
Pasar serupa dengan masjid. Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda: “Pasar-pasar harus mengikuti sunnah yang sama dengan masjid, siapa yang mendapat tempat duluan dia berhak duduk sampai dia bediri dan kembali ke rumah atau menyelesaikan perdagangannya (suq al Muslimun ka musalla al Muslimun, man sabaqa ila shain fahuwa lahu yawmahu hatta yadaahu) (Al Hindi, Kanz al Ummal, V 488 no 2688)
Adalah sadaqah tanpa ada kepemilikan pribadi. Ibrahim ibnu Mundhir al Hizami meriwayatkan dari Abdullah ibn Ja’far bahwa Muhamad ibn Abdullah ibn Hasan mengatakan, “Rasulullah shallalahu alaihi wassalam memberi kaum Muslimin pasar sebagai sedekah (tasadaqa ala al Muslimin bi aswaqihim)
(Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304)Tanpa panarikan uang sewa. Ibnu Zabala meriwayatkan dari Khalid ibnu Ilyas al Adawi mengatakan, “Surat Umar ibnu Abdul Azis dibacakan kepada kami di Madinah, yang menyatakan bahwa pasar adalah sedekah dan tidak boleh ada sewa kepada siapa pun.(As-Samhudi, Wafa al Wafa,749)
Tanpa penarikan pajak. Ibrahim al Mundhir meriwayatkan dari Ishaq ibn Ja’far ibn Muhamad dari Abdullah ibn Ja’far ibn al Miswat, dari Syuraih ibn Abdullah ibn Abi Namir bahwa Ata ibn Yasar mengatakan, “Ketika Rasulluah SAW ingin membuat sebuah pasar di Madinah, beliau pergi ke pasar Bani Qainuqa dan kemudian mendatangi pasar Madinah, menjejakkan kaki ke tanah dan bersabda, “Inilah pasar kalian. Jangan membiarkannya berkurang (la yudayyaq) dan jangan biarkan pajak apa pun (kharaj) dikenakan” (Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304)
Di sana tidak ada pesan atau klaim tempat. Ibnu Zabala meriwayatkan dari Hatim ibn Ismail bahwa Habib mengatakan bahwa Umar Ibn Khattab (pernah) melewati Gerbang Ma’mar di pasar dan (melihat) sebuah kendi diletakkan dekat gerbang dan dia perintahkan untuk mengambilnya. Umar melarang orang meletakkan batu pada tempat tertentu atau membuat klaim atasnya (an yuhaijjir alaiha aw yahuzaha) (As-Samhudi, Wafa al Wafa,749)
Dan di sana tidak boleh dibangun toko-toko. Ibnu Shabba meriwayatkan dari Salih ibn Kaysan….bahwa…Rasulullah shallalahu alaihi wassalam bersabda “Inilah pasar kalian, jangan membuat bangunan apa pun dengan batu (la tatahajjaru) di atasnya dan jangan biarkan pajak (kharaj) dikenakan atasnya” (As-Samhudi, Wafa al Wafa,747-8)
Abu Rijal meriwayatkan dari Israil, dari Ziyad ibn Fayyad, dari seorang syekh Madinah bahwa Umar ibn Khattab ra. melihat sebuah toko (dukkan) yang baru dibangun oleh seseorang di pasar dan Umar merobohkannya.(Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 750)
Pengertian pasar dalam Islam artinya berakhirnya sistem monopoli, dengan hadirnya pasar membuat monopoli menjadi tidak dikenal. Pada mulanya pasar terbuka untuk semua, untuk orang yang mempunyai keahlian dan yang tidak mempunyai keahlian, lalu akhirnya pasar menjadi untuk yang ahli, lalu hanya untuk segelintir ahli dan akhirnya hanya menjadi kepemilikan satu orang dan supermarket menjadi simbol ekonomi monopoli hari ini, barang-barang dan aksesnya hari ini di kuasai oleh hanya segelintir perusahaan.
Pasar adalah adalah ruang terbuka dimana setiap orang dapat berdagang atau berjual beli, dalam pasar tebuka tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa dari yang lain, semua adalah sama dan semua adalah berbeda, dengan itu kita telah mulai membangun kembali elemen inti dari masyarakat ke masyarakat fitrah.
Sejak hadirnya pasar uang (kertas yang tidak bernilai selain secarik kertas) dan monopoli, fungsi pasar seperti yang dijelaskan di atas makin menghilang. Barang barang menjadi semakin abstrak juga (pasar uang atau future trading) yang sampai akhirnya menjadi sangat tidak berhubungan dengan perdagangan itu sendiri. Pengertian uangpun menjadi abstrak sedangkan dengan kembalinya pasar adalah sebaliknya mengembalikan perdagangan dalam bentuk nyata, pasar terbuka dalam fungsi wakaf, dengan barang nyata, dengan uang nyata dan pedagang yang nyata.
Landasan perniagaan dalam Islam adalah pasar. Pasar adalah tempat dimana terjadi jual beli barang dan jasa. Pasar adalah tempat umum bagi khalayak. Pasar tidak dimiliki, namun setiap orang yang datang berhak menggunakan tempatnya, dan berjual beli sampai malam.
Kebebasan pasar adalah hal pokok dalam membahas perniagaan dalam Islam. Sayangnya pernyataan `kebebasan pasar` telah dikotori oleh para ekonom-ribawi. Perbedaan terpenting pasar dalam Islam dan pasar kapitalis adalah hal seperti bunga, pasar uang, surat hutang, kredit berbunga, bursa efek dianggap sebagai bagian kebebasan pasar , sedangkan bagi umat Islam, riba adalah pelanggaran dan ketidak adilan yang dilarang oleh Allah dan rasulnya.
Dengan kata lain riba menghancurkan kebebasan. Dalam pasar diperlukan alat tukar yang bebas dipilih oleh khalayak, perlu di ingat bahwa aspek terpenting dalam Islam adalah saling ridha (aantarodim). Riba, paksaan, hak istimewa, pajak, monopoli, semuanya meluluh lantakan hakikat kebebasan pasar. Dalam pasar tak seorangpun yang membayar sewa dalam bentuk apapun. Seluruh pengeluaran kebersihan, keamanan dan pemeliharaan bangunan pasar dibayar dengan wakaf. Dalam hal ini pasar serupa dengan masjid. Tak seorangpun bisa dicegah dari memasuki pasar, seperti halnya tak seorang muslimpun bisa dicegah dari memasuki masjid kecuali untuk maksud yang jelas dilarang. Maka tanah yang dipakai membangunnyapun adalah tanah wakaf, hingga kepemilikannya berada ditangan umat dan untuk kesejahteraan penuh umat.
Mengawasi Dan Mengatur Pasar
Tujuan dari kekuasaan atas pasar pada masa Umar bin Khattab ra. adalah menjalankan pengawasan pasar untuk menjamin kebenaran jual beli dari setiap penyimpangan dari jalan yang benar dan mengambil harta yang harus diambil dari pasar untuk kebaikan baitul mal seperti zakat, wakaf, infaq dan shadaqah. Ini artinya kekuasaan pasar sangat penting untuk menjaga hak-hak semua yang bertransaksi di pasar, juga hak-hak baitul mal.
Secara umum, tujuan dasar pengaturan pasar adalah mewujudkan kebaikan semua orang yang berjual beli di pasar yaitu penjual dan pembeli. Sebagaimana pengaturan tersebut ditujukan untuk memerangi segala sesuatu yang menghalangi kebebasan bertransaksi di pasar yang bisa membuat umat terzalimi.
Berikut ini detail tujuan terpenting dari pengawasan pasar dan aturan transaksi di dalamnya : (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk 5/17-18, Ibnul Atsir, Al-Kamil2/374)
1. Kebebasan Keluar Dan Masuk Pasar
Kebebasan berjual beli di pasar tidak akan terwujud selama halangan-halangan tidak dihilangkan, orang-orang harus dapat masuk dan keluar pasar dengan bebas, termasuk diberikan kebebasan mengangkut barang dari satu tempat ke tempat yang lain.Supaya pasar tetap terbuka bagi semua orang yang bertransaksi di dalamnya, maka Umar bin Khattab ra. tidak memperbolehkan untuk membatasi setiap tempat di pasar atau menguasai tempat tanpa memberi temapt kepada yang lain dan orang boleh memilih tempatnya selama dia masih berjual beli. Apabila dia sudah selesai maka tempat tersebut untuk siapa saja yang lebih dahulu datang.
Umar bin Khattab ra. melarang mengakui tempat di pasar menjadi milik pribadi tertentu maka ketika Umar bin Khattab ra. melihat tempat yang dibangun oleh seseorang di pasar maka Umar bin Khattab ra. merubuhkannya. (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk 5/220)
Umar bin Khattab ra. tidak mengizinkan bagi seseorang untuk menghalangi gerak manusia dengan mempersempit jalan mereka ke pasar dan memukul orang yang melakukannya dengan tongkat sambil berkata, “Enyahlah dari jalan!”. (Al-Fakihi, Akhbar Makkah 3/245-247, Ibnu Hajar, Fathul Bari 3/526-527)
Hari ini muslim tidak mempunyai pasar untuk berdagangan, para pedagang tidak mempunyai akses terhadap pasar, yang pada akhirnya berjualan di pinggir jalan, yang dikejar dan digusur, mereka tidak tidak punya hak. Kumandang pasar bebas yang kita dengar adalah tidak lebih untuk keperluan pemilik modal riba, merekalah yang bebas berdagang. Pasar bebas yang kita dengar pada kenyataannya adalah adalah pasar tertutup berbasis riba dan monopoli. Sebuah jalur distribusi kapitalistik yang dimonopoli oleh segilintir pemilik modal (ribawi), toko dan mall bukanlah pasar. Ini bukan pasar bebas.
Dalam Islam, pasar itu sedekah bagi kaum muslimin, makanya dalam pasar, setiap orang bisa memanfaatkan tempat yang tersedia dengan tatacara seperti di masjid yaitu “siapa yang datang duluan dia yang akan mendapatkan tempat yang diinginkan”.
2. Mengawasi Cara Penawaran Para Pedagang
Umar bin Khattab ra. dalam pengawasan pasar adalah menunjukkan para pedagang tentang cara menjual barang dagangan agar dagangan mereka laku. Umar bin Khattab ra. membolehkan menjual barang dengan cara yang menarik dan menghiasinya dengan syarat dibangun di atas kejujuran.Dengan kata lain, tidak boleh melewati batas kebenaran dalam menyebutkan dagangannya. Adapun selama ada dalam ruang kebenaran maka tidak ada larangan untuk menunjukan dengan indah dan menghiasinya dengan hal yang bisa menarik para pembeli.
Umar ra berkata, “Tidak masalah bila kamu menghiasi barang daganganmu sesuai apa yang ada padanya”. (Muhammad Abdul Mun’im Afar & Muhammad bin Said Nahi al-Ghamidi, Ushul al-Iqtishad al-Islami, hal. 242)
3. Larangan Menimbun Barang
Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu harga naik.Perilaku menimbun barang ini menzalimi manusia, maka Umar bin Khattab ra. menghadapinya dengan tegas dan keras, untuk selanjutnya melarang para penimbun barang berdagang di pasar. Umar bin Khattab ra. berkata, “Janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang!”. (Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Al-Fiqh al-Iqtishadi, li Amiril Mu’minin Umar bin Khaththab)
4. Mengatur Perantara perdagangan
Perdagangan tidak bisa lepas dari dari perantara yang masuk di antara penjual dan pembeli. Perantara pedagang dibutuhkan karenya banyaknya barang dan jasa, benyak jenisnya, meluasnya wilayah perdagangan dan kesulitan hubungan langsung antara berbagai pihak.Di samping mengetahui pentingnya perantara perdagangan, membiarkannya tanpa aturan bisa menyebabkan adanya penyalahgunaan dari tugas sebenarnya dan menjadi cara untuk menipu dan monopoli.
Hal ini bisa merusak persaingan, maka harga tidak stabil sesuai persediaan dan permintaan barang, akan tetapi terjadi kesewenang-wenangan dari beberapa pedagang perantara yang menyebabkan naiknya harga.
Umar bin Khattab ra. memerintahkan untuk melaksanakan pesan Rasulullah shallalahu alaihi wasslam, “Dan janganlah orang yang tahu menjual kepada orang yan tidak tahu”. Umar bin Khattab ra. memerintahkan untuk menunjukkan para pedagang dari orang Badui ke pasar, memberitahukan mereka jalan menuju pasar, agar dia mengetahui dengan sempurna keadaan pasar dan harga-harga dan mereka bisa sampai ke pasar serta menjual barang dagangannya sesuai kehendaknya.
Umar bin Khattab ra. berkata, “Tunjukkan mereka ke pasar, tunjukkan mereka jalan dan beritahu mereka tentang harga”. (Muhammad Abdul Mun’im Afar, al-Iqtishad al-Islami 2/231)
5. Mengawasi Harga
Umar bin Khattab ra. memiliki perhatian yang besar dalam mengikuti perkembangan harga dan mengawasinya. Ketika datang utusan kepadanya, maka beliau bertanya tentang keadaan mereka dan harga-harga pada mereka. (Shaluhuddin Namiq, An-Nuzhum al-Iqtishadiyah al-Mu’ashirah wa Thatbiqatuha, hal. 370)Islam menganggap kenaikkan harga sebagai suatu musibah atau bencana yang turun karena dosa manusia. Hal ini terjadi ketika harga-harga naik pada masa Rasulullah Saw dan umat Islam datang kepada beliau untuk menentukan harga. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Tetapi aku berdoa…”. (Al-Azhim Abadi, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud 9/250). Artinya aku menghadap Allah agar menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rizki”. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dari penjelasan singkat ini, sebagai muslim perlu menyadari bahwa membangun kembali pasar seperti yang telah dijelaskan di atas sama pentingnya dengan membangun masjid. Perlakuannya pun hampir sama yaitu tidak boleh mengambil untung atau sewa dari kaum muslimin yang ingin memanfaatkannya. Pembiayaan pasar sama dengan masjid yaitu dari wakaf, infaq dan shadaqah.
Sepanjang ada sejumlah pedagang, sepuluh atau dua puluh orang pun, yang tinggal di suatu wilayah yang sepakat dapat memulai perdagangan dengan menggunakan dinar dan dirham sebagai uang sunnah ini maka secara fitrah perdagangan itu dapat berlangsung, dan ini sebuah pilihan bagi muslim dalam mentaati perintah Allah dan rasul untuk meninggalkan riba dan menghalalkan perdagangan demikianlah penjelasan singkat tentang pasar.
Dengan membangun pasar sesuai aturan Islam, dengan menjaga adab-adab jual beli, semoga keberkahan Allah akan tumbuh di pasar tersebut, karena itu setiap pedagang diwajibkan memahami hukum riba dan fikih dagang serta adanya pengawasan dari muhtasib (pengawas pasar). Allah menghalal jual beli dan mengharamkan riba, seperti halnya sedekah dan mematikan riba. (Abbas Firman, IMN-World Islamic Standard)
dipublikasikan :